Kamis, Januari 11

Until the end of Time, akankah cinta sejati menemukan jalannya?

Informasi Buku :
Judul Buku                       : Until the End of Time
Penulis                             : Mya Ye
Editor                               : Irna Permanasari
Desainer sampul              : Iwan Mangopang
Penerbit                           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal                                : 296 halaman
Cetakan                            : I, Desember 2017
ISBN                                : 9786020379104               



Sinopsis Buku :
Carmelin seorang gadis yang cerdas, mandiri, dan sangat mencintai pekerjaannya. Demi kariernya yang sedang menanjak pesat, ia tidak segan-segan bekerja keras.

Carmelin juga seorang gadis yang berpikiran modern, yang selalu merasa bahwa wanita bisa sama hebatnya, atau bahkan lebih hebat dari pria. Dan ia sudah membuktikannya.

Hidupnya yang selama ini berjalan mulus dan selalu berada di atas angin mulai jungkir balik ketika kekasihnya, Michael, melamarnya. Bukan hanya itu. Michael juga meminta Carmelin berhenti dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga.

Demi kariernya, Carmelin memilih memutuskan hubungan dengan Michael. Namun yang tidak pernah diduganya, sejak itu hidupnya tidak pernah lagi sama...

Review Buku:
Cinta sejati pasti akan menemukan jalannya kembali (Emak Giok, 204). Begitu yang dikatakan Emak Giok, nenek Carmelin untuk memendam kegundahan hati cucu kesayangannya. Emak Giok adalah tempat pelarian Carmelin untuk menumpahkan apa yang ia resahkan. 

Seperti sinopsisnya, buku ini menceritakan kisah cinta antara Carmelin dan Michael Tejakusuma. Kebersamaan dalam beberapa tahun nyatanya tak mampu membuat Carmelin menerima lamaran Michael. Lantaran sebuah syarat yang diajukan Michael yakni berhenti bekerja setelah menikah. 

Carmelin sangat mencintai pekerjaannya. Ia merasa telah bekerja keras untuk dapat mencapai posisinya di perusahaan yang sekarang, dan tidak rela untuk berhenti bekerja begitu saja. Ia pun memilih untuk menolak lamaran Michael dan kemudian mereka berpisah. 

Yang Carmelin dan Michael tak menduga adalah bahwa tidak mudah untuk melupakan orang yang pernah kamu cintai dengan sepenuh hati. Berbagai cara Carmelin lakukan untuk mengenyahkan Michael dari pikirannya, tapi hanya bertahan sejenak saja. Hidup Michael pun tak lagi baik-baik saja. Akankah mereka kembali bersama atas nama cinta sejati? Atau kehadiran David (sepupu dari Marry,  sahabat Carmelin) mampu mengetuk hati Carmelin?

Novel dengan tebal hampir 300 halaman ini adalah novel pertama yang aku baca di tahun 2018. Novel yang terakhir kubeli namun yang pertama kuangkat dari ‘timbunan’ buku di kamar. Setting novel ini mengambil lokasi di Jakarta-Tangerang dan Hongkong-Guangzhou. Di halaman 95, ada pembicaraan antara David dan Carmelin mengenai kamera. Tertulis LSR, yang mungkin seharusnya kamera SLR (single lens reflex) ya ..

Novel ini menceritakan dilema wanita masa kini kebanyakan. Menikah dan berhenti bekerja, atau menikah dan tetap bekerja setelahnya. Hal itu juga yang bikin aku ngambil buku ini dari salah satu rak Gramedia. Yang diceritakan di novel ini lebih detail dari yang kubayangkan. Tradisi keluarga yang dilakukan secara turun-temurun dari jaman dulu, tuntutan orang tua atau keluarga pada anaknya mengenai syarat yang diharapkan dari seorang calon menantu, serta passion perempuan muda jaman sekarang. Hal-hal yang tak mudah diputuskan, apalagi mengingat ketika menikah yang kemudian bersama tidak hanya dua orang melainkan dua keluarga. 

Apa kamu mengalami kisah yang mirip? Atau dilema yang sama? 😃


Rates: 💫💫💫

Informasi Penulis :
Mya Ye

Novel-novel lain yang ditulis: Jerawat? Gue Banget!, Love on the Blue Sky, Pemburu Cinta, A Perfect Time

Twitter   : @myaye
IG           : @mya_ye
Blog       : http://pilgrimnote.wordpress.com      

Senin, Januari 8

Insidious: The Last Key, masih mencekamkah?

Sejak dirilis perdana pada 2010, film pertama Insidious telah menarik minat penonton penyuka genre horor. Kisah setan gentayangan yang diberikan bumbu jumpscare secara klasik ini menjadi penyegar dari kejenuhan akan bentuk film horor di Hollywood.

Di dua film pertama Insidious menceritakan Dalton dan sang ayah yang mampu mengembara ke dunia roh, tapi tubuhnya diincar oleh arwah jahat untuk kembali ke dunia. Sementara Insidious: Chapter 3 yang rilis 2015 lalu, menceritakan seorang gadis muda, Quinn, yang mencoba berhubungan kembali dengan arwah sang ibu.

Benang merah dari ketiga film tersebut adalah seorang cenayang lanjut usia, Elise (diperankan oleh Lin Shaye). Di film keempat, Insidious: Last Key, Elise menjadi pemeran utama. Tak seperti dua sekuel lainnya yang mengambil terminologi 'babak' alias 'chapter', seri ke-4 dari Insidious ini memilih tajuk khusus 'The Last Key'. Film ini menceritakan asal muasal kekuatan Elise, serta kisah yang ia hadapi.
Sebelum memulai kisah The Last Key, Whannell yang kembali duduk fokus menulis kisah horor ini memberikan gambaran singkat sebuah kejadian di kota bernama Five Keys, New Mexico, pada 1950-an. Gambaran kehidupan tersebut berlatar di sebuah lembaga pemasyarakatan. Di sebuah rumah sipir lapas, seorang anak perempuan kecil memiliki kehidupan yang rumit akibat kemampuannya melihat makhluk halus.

Setelah cukup menggambarkan sebuah kisah pilu nan menegangkan, bahkan di 10 menit awal 'The Last Key', Whannell dan sutradara Adam Robitel melempar penonton ke era 2010-an.
Di era ini, sang cenayang Elise Rainer kembali menolong orang yang bersimpangan jalan dengan makhluk halus setelah pengalamannya masuk kembali ke The Further pada Insidious: Chapter 3.
Namun ia tak sendiri. Kini, Elise ditemani Tucker (Angun Sampson) dan Specs (Leigh Whannell).
Kehadiran mereka sejatinya hanyalah pengendur saraf tegang mengikuti insting mistis Elise. Kedua pria yang kadang bertingkah konyol itu resmi bergabung dengan Elise membuka jasa menghadapi gangguan gaib.

Semua tampak normal hingga sebuah panggilan telepon membuatnya goyah. Seseorang yang menempati rumah masa kecil Elise dulu meminta bantuannya untuk mengusir makhluk gaib yang kerap mengganggunya. Elise kembali dihadapkan dengan kenangan buruk yang menghantuinya sejak kecil.

Mungkin salah satu pertanyaan yang akan muncul setelah mendengar rilisnya Insidious: The Last Key adalah: apa lagi yang dibawa oleh film ini? Sebenarnya, Insidious: The Last Key masih banyak memakai resep yang sama dengan film-film sebelumnya. Kemunculan para makhluk ganjil dalam film ini lebih karena kemunculannya yang tiba-tiba di depan mata, bukan karena keberadaan mereka yang mengerikan. Hal ini mungkin akan membuat kesal para penggemar film horor yang ingin kengerian yang menggigit. Karena bukannya ditakut-takuti, penonton malah dibuat terkejut belaka.

Disusun kombinasi horor dengan imaji kriminal, film ini bak jadi kunci yang menghubungkan kompleksitas serial Insidious. Di akhir film, ada satu kejutan untuk para penggemar waralaba ini, yang bakal membuat ingatan kembali ke dua film awal Insidious.

Insidious: The Last Key juga masih memiliki sejumlah pertanyaan. Namun, itu bisa dianggap sebagai 'godaan' dari Leigh Whannell dan James Wan sebagai penelur kisah seri Insidious, atas peluang pengembangan dunia Insidious selanjutnya.
 


Mengikuti Insidious sejak film pertama, jujur sedikit kecewa ketika menonton prekuelnya ini. Bela-belain nonton di jam midnite, bahkan sebelum premier di Indonesia nanti tanggal 10 Januari 2018, aku ngerasa ada bagian-bagian yang janggal dalam cerita di film ini. Ada hal-hal yang rasanya nda perlu, juga hal-hal yang muncul di awal namun tiba-tiba hilang di akhir. Mau nyebutin, tapi nanti spoiler 👀 Yah mungkin benar kata pepatah, expectation can kill you. Aku mungkin berharap terlalu tinggi pada Insidious 4 ini, mengingat film-film sebelumnya cukup membuat Insidious masuk dalam list film horor favorit. Tapi mungkin juga masalah selera. Bagaimana dengan kamu? 😁

dari berbagai sumber: